Robot Tax, Sebuah Gagasan Untuk Mengantisipasi Ketimpangan Ekonomi?


          Sebuah negara menghadapi berbagai masalah ekonomi, yang diantaranya adalah isu terkait dengan ketimpangan ekonomi. Permasalahan ketimpangan ekonomi menjadi salah satu isu utama yang dijadikan perhatian oleh Pemerintah Indonesia, bagaimana tidak, berdasarkan publikasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik rasio gini di Indonesia pada Maret 2017 berada di angka 0,393. Berdasarkan Global Wealth Databook 2017 diketahui bahwa 1% penduduk Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional dan 10% penduduk Indonesia menguasai 74,8% kekayaan nasional[1], hal tersebut semakin memperkuat adanya ketimpangan ekonomi di Indonesia. 

Salah satu cara mengatasi ketimpangan ekonomi adalah dengan penyediaan lapangan kerja yang layak serta membuka peluang untuk terciptanya persaingan usaha yang sehat, namun hal tersebut dikhawatirkan akan terhambat di masa mendatang seiring dengan perkembangan teknologi yang menggantikan tenaga kerja manusia dengan tenaga kerja mesin atau robot. Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut bermunculan berbagai gagasan, yang salah satunya adalah robot tax. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Guerierro et al (2009)[2], diketahui bahwa tanpa adanya perubahan pada sistem perpajakan saat ini (di Amerika Serikat) maka akan semakin meningkatkan ketimpangan ekonomi, salah satu cara mengurangi ketimpangan ekonomi tersebut adalah dengan cara mengenakan Pajak Penghasilan yang lebih tinggi pada orang dengan penghasilan tinggi atau dengan mengenakan robot tax.
Pengenaan Robot Tax diharapkan dapat menjadi disinsentif bagi perusahaan yang lebih memilih tenaga kerja robot dibandingkan dengan tenaga kerja manusia. Di sisi lain pengenaan pajak ini diangap sudah selazimnya dikenai, mengingat adanya potensi penerimaan pajak yang hilang dari perubahan tenaga kerja manusia menjadi tenaga kerja robot (di Indonesia sebagai contoh Pajak Penghasilan Pasal 21). Terdapat dua skema pengenaan robot tax, yang pertama adalah mengenai pajak penghasilan kepada perusahaan dengan basis yang setara dengan penghasilan tenaga kerja sebelum menggunakan robot dan skema yang kedua adalah pengenaan pajak kepada pemilik perusahaan pada titik penjualan robot.
Di sisi lain, saat ini dunia telah memasuki disruption era, dimana subjek yang menggunakan teknologi lebih maju akan menggeser subjek yang menggunakan teknologi lebih rendah, sebagai contoh eksistensi taksi offline yang mulai tergeser oleh taksi online. Bahkan saat ini banyak negara yang memberikan insentif untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, karena telah banyak studi yang menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan memiliki multiplier effect yang tinggi terhadap perekonomian. Pengenaan robot tax tentu perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, karena teknologi yang maju dapat meningkatkan produksi yang akan berujung terhadap majunya perekonomian, sebagai contoh adanya regulasi Pemerintah yang mewajibkan jumlah kerja minimum atau pemberian insentif pajak bagi perusahaan padat karya, apapun keputusannya harus melihat dari sisi yang lebih luas agar dihasilkan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
.
Referensi
Joao Guerreiro, Sergio Rebelo,  and Pedro Teles (2009). Should Robots Be Taxed?.  Northwestern University.




[1] Global Wealth Databook 2017, Credit Suisse
[2] Joao Guerreiro, Sergio Rebelo,  and Pedro Teles (2009). Should Robots Be Taxed?.  Northwestern University.